by Elsa Krisanti on Wednesday, March 21, 9.53 PM.
Jalan-jalan di Caen
Beruntung sekali selama perjalanan liburan bulan Juli lalu, cuaca cukup mendukung. Rata-rata langit bersih dan matahari bersinar terang, hanya kadang-kadang saja turun hujan dan mendung. Setelah menikmati Mont St. Michel dan sekitarnya, kami melanjutkan perjalanan ke arah utara yaitu menuju kota Caen. Dari kota Avranches, tempat kami menginap terakhir, lama perjalanan hanya sekitar satu jam saja.
Dari Avranches ke Honfleur |
Abbaye aux Hommes di tengah Caen |
e ville itu artinya town hall alias gedung kotapraja.
Lokasi dimana Abbaye aux Hommes ini berada di jantung kota, karena selain town hall, juga ada gedung pengadilan (palais de justice), terus ada gereja Saint Etienne le Vieux yang terlihat sudah tua dengan kerusakan akibat perang yang tidak dipugar. Semua gedung-gedung ini mengelilingi semacam bundaran dengan taman yang penuh bunga beraneka warna.
Sewaktu menyusuri jalan ke arah chateau Ducal atau Caen Castle, surprise juga menemukan sebuah beca yang menjadi hiasan di pinggir jalan. Beca seperti ini mungkin berasal dari Jawa tengah atau Jawa timur, berhiaskan tulisan “Dwi tunggal”.
Beca "Dwi Tunggal" di Caen |
Terselip dua rumah kayu tua tertua di Caen yang sekarang menjadi museum pos. Hanya bagian muka dari bangunan ini saja yang terbuat dari kayu, sedang bagian yang lainnya terbuat dari batu kapur atau limestone.
Rumah kayu untuk Museum Pos |
Di persimpangan jalan akhirnya kami sampai di suatu tempat terbuka dengan tengaranya adalah Kastil Caen atau Chateau Ducal. Benteng ini didirikan sekitar tahun 1060 oleh William the Conqueror untuk melindungi istana kediamannya. William the conqueror ini sampai meninggalnya pada tahun 1087 adalah duke of Normandy yang juga menjadi King of England karena invasinya ke Inggris pada tahun 1066.
Jembatan kayu untuk memasuki bent |
Akibat pemboman selama Perang Dunia II, istana William ini hanya tinggal
bagian dasarnya saja. Bangunan yang masih tersisa di dalam
benteng dan kemudian diperbaiki adalah ruang pertemuan atau “Exchequer
room” dan gereja St. Georges.
Untuk
memasuki benteng ini kami harus berjalan menanjak dan kemudian melalui
jembatan kayu tua menyebrangi solokan dalam yang kering.
Di dalam benteng ini terdapat museum seni (musee des beaux-arts) yang dipenuhi lukisan-lukisan lama maupun baru yang berskala dunia. Pengamanan di dalam museum tidak terlalu ketat, tidak seperti di museum lainnya yang berisi lukisan-lukisan terkenal, hanya sedikit penjaga yang berjaga.
Di dalam benteng ini terdapat museum seni (musee des beaux-arts) yang dipenuhi lukisan-lukisan lama maupun baru yang berskala dunia. Pengamanan di dalam museum tidak terlalu ketat, tidak seperti di museum lainnya yang berisi lukisan-lukisan terkenal, hanya sedikit penjaga yang berjaga.
Di luar benteng, ada bangunan yang menarik yaitu rumah kayu tua berwarna merah serta gereja St. Piere yang tampak tua dan gelap di seberangnya.
Setelah menikmati makan siang, kami berangkat lagi menuju tujuan berikutnya yaitu Deauville. Melalu jalan A-13 ke arah utara, setelah kurang lebih 50 menit akhirnya kami sampai di kota kecil ini. Semula Deauville ini hanya kampung kecil biasa yang penduduknya hidup dari pertanian dan perternakan, dengan melepaskan ternaknya di sekitar rerumputan dekat pantai. Perubahan besar terjadi pada kampung ini ketika pada tahun 1858, Duke of Morny yang masih saudara dari Napoleon III terinspirasi untuk membangun resort pinggir pantai di Deauville. Bersama partnernya, Doctor Olliffe mereka membangun casino, hotel dan pacuan kuda di Deaville untuk para elit dari kota Paris dan aristokrat internasional.
Deauville di masa sekarang telah menjadi tujuan turisme untuk segala kalangan masyarakat. Selain casino dan pacuan kuda, wisata pantai dan kultur menjadi andalan kota ini juga.
Pantai pasir putih sepanjang promenade ini dipenuhi payung-payung pantai yang didominasi warna biru dan merah.
Kabin kecil ini disewakan demikian juga payung-payung yang tersedia. Sehingga pengunjung yang bersantai di pasir dapat menyimpan barang-barangnya di kabin ini, atau kalau merasa terlalu panas bisa duduk-duduk di depan kabin yang terlindung dari sengatan matahari.
The Normandy Barriere Hotel yang menghadap laut di dekat promenade memiliki bangunan khas Normandi. Hotel yang didirikan pada tahun 1912 ini eksteriornya terbuat dari kayu yang berwarna hijau pucat seperti warna porselen Cina. Dengan bunga yang bermekaran di setiap jendela dan tamannya yang cantik, hotel ini terlihat asri.
The Royal Barriere Hotel dengan hamparan pasir putih |
Pojokan di Deauville yang menjadi butik |
No comments:
Post a Comment