Tuesday, August 6, 2013

Rothenburg ob der Tauber, kota Medieval di Bavaria



Pada perjalanan melalui rute Romantic road  liburan musim panas tahun lalu, kami mengunjungi kota tua cantik Rothenburg ob der Tauber di Bavaria, Jerman.  Jalan melalui rute Romantic road ini tidak sama dengan highway Autobahn yang juga menghubungkan kota Wurzburg, kota kecil dimana terdapat Istana Marienburg, atau Marienburg Fortress, dengan Rothenbugh.  Rute Romantic road membawa kami melewati kampung-kampung cantik dan melintasi daerah pertanian.Pemandangannya sangat indah, jalan mobil kadang-kadang sejajar dengan aliran sungai kecil yang bersih jernih serta hamparan ladang berwarna kuning dan hijau. 
 Kota Rothenburg ob der Tauber di provinsi Bavaria termasuk salah satu kota yang paling banyak dikunjungi turis di Eropa, karena lebih dari dua juta turis mengunjungi kota ini setiap tahun.  Berjalan-jalan di kota kecil Rothenburg ob der Tauber ini seperti melakukan perjalanan melintas waktu ke abad pertengahan (Middle Ages atau Medieval).  Abad pertengahan adalah periode sejarah Eropa yang kira-kira bermula dari abad ke-5 sampai ke abad ke-16.  
 


Seluruh bagian kota di sisi dalam dinding yang melingkari kota ini dilestarikan dan menjadi cagar budaya bangsa Jerman. Pengunjung dapat menaiki dinding tua tersebut dan berjalan sepanjang dinding untuk melihat pemandangan ke seluruh kota dan lembah Tauber di luar dinding kota. Dinding kota yang cukup tinggi, dibangun sekitar abad ke-13 sampai ke-16, menghubungkan lima pintu gerbang yang dilengkapi dengan menara jaganya. 
Rothenburg yang antik dan terlestarikan
Bangunan-bangunan yang tua, rangkaian jalan berbatu, menara yang menjulang tinggi  di dinding sekeliling kota, serta rumah-rumah penduduknya yang bergaya gotik, renaisans dan barok, menjadi daya tarik utama kota ini. Apa yang dilihat di Rothenburg sekarang adalah sama seperti aslinya pada abad pertengahan lalu. Tidak salah kalau Rothenburg dijuluki sebagai kota era Medieval terbaik di Jerman. Pelestarian kota Rothenburg dimulai dengan dikeluarkannya peraturan pelestarian kota medieval ini oleh pemerintah Jerman pada tahun 1800-an 
Rothenburg pernah menjadi salah satu kota penting era kekaisaran Jerman yang dikenal sebagai Holy Roman Empire pada abad pertengahan. Konon sekitar bulan oktober tahun 1631, sebanyak 40 ribu tentara dibawah Jenderal Holy Roman Empire yang beragama Katolik menyerbu Rothenburg yang penduduknya beragama Protestan Lutheran. Penduduk kota yang berjumlah sekitar 5500 orang bersatu padu bertahan di balik dinding kota walau akhirnya kalah dari serbuan tentara Katolik ini.
Setelah dikuras habis dan ditinggalkan tentara Holy Roman Empire, penduduk kota terkena epidemik penyakit black death (plague atau penyakit pes) sehingga kota menjadi kosong. Secara alamiah, kondisi kota Rothenburg terlestarikan seperti apa adanya kondisi kota di awal abad 17, karena tidak ada perkembangan dan ditinggalkan penduduknya.
Rothenburg mulai dikenal lagi pada awal tahun 1800-an ketika banyak pelukis dan penyair Jerman yang berkunjung ke kota ini merasa terkesan serta terinspirasi dengan suasana kota tua yang unik ini.  Kota Rothenburg kemudian dilestarikan sebagai cagar budaya kota abad pertengahan Jerman. Semenjak kedatangan para seniman ini pariwisata mulai berkembang pesat di kota Rothenburg dan berlanjut sampai sekarang.  


Pada masa Perang Dunia II, beruntung sekali tidak banyak kerusakan menimpa kota ini. Asisten Komandan perang Amerika Serikat di Eropa pada masa itu, John J.McCloy, pernah mendengar tentang indahnya kota Rothenburg ini dari ibunya yang pernah berkunjung sebagai turis. Untuk mencegah kota Rothenburg dari kehancuran,  beliau memerintahkan Jenderal Jacob L.Dever, Pemimpin tentara Amerika ke daerah Jerman,  untuk tidak membumi hanguskan Rothenburg. Untungnya juga, konon, Komandan tentara Nazi yang bertahan di Rothenburg mengabaikan perintah Adolf Hitler untuk bertahan sampai tetes darah terakhir. Komandan Nazi ini tanpa berlama-lama segera menyerahkan kota Rothenburg kepada tentara Amerika pada tanggal 17 April 1945,  sehingga tidak ada  kerusakan hebat terjadi di Rothenburg.
Untuk membangun kembali kota ini setelah Perang Dunia kedua, penduduk kota memiliki gagasan yang tidak biasa pada masa itu. Mereka menggalang dana dari donatur di seluruh dunia dan setiap donatur diabadikan namanya pada sepotong tembok di dinding kuno yang mengelilingi kota. Dengan cara itu banyak orang yang ingin menyumbang, karena namanya akan terpampang di dinding kota yang bersejarah ini. Ternyata waktu kami berjalan-jalan di sepanjang dinding tua ini, ada beberapa nama dari Indonesia yang kami temukan. 

Atraksi menarik di Rothenburg
Pusat dari kota ini adalah lapangan berbatu yang dikelilingi oleh balai kota (Rathaus), menara jam (Clock tower), kolam air mancur St Georges dan berbagai toko serta  restauran. Bangunan balai kota memiliki dua gaya, bagian depan yang bergaya gotik termasuk menaranya yang setinggi 65 meter dibangun pada tahun 1250-1400, dan bagian samping yang bergaya renaisans dibangun sekitar tahun 1572 – 1578.  Pada Clock tower terpasang penunjuk waktu yang unik, karena selain jarum yang menunjukkan jam dan menit ada juga penunjuk bulan dan hari. 
Pada waktu-waktu tertentu, jendela di bagian atas menara ini terbuka dan mempertontonkan boneka-boneka yang bergerak mekanis. Sandiwara boneka tersebut menceritakan legenda minum-minum Walikota Rothenburg, Nusch, yang terjadi pada tahun 1631. Konon pada saat itu Walikota minum sebanyak 1 galon (3¼  liter) anggur dalam tegukan panjang tanpa henti. Aksi walikota ini terpaksa dilakukan demi menyelamatkan kota Rothenburg. Pihak musuh menantang seluruh warga kota yang mampu minum anggur 3¼  liter dalam tegukan panjang. Bila tidak ada yang mampu maka Rothenburg akan mereka kuasai. Karena tidak ada yang berani, maka Walikotanya sendiri yang menerima tantangan itu. Apakah cerita ini benar-benar terjadi, tidak ada yang tahu. Yang pasti sekarang lapangan batu ditengah kota ini selalu dipenuhi turis terutama menjelang pertunjukan boneka dari jendela menara. 


Ke arah pintu gerbang dinding kota bagian selatan terdapat suatu tengara yang terkenal dari kota ini, yaitu Plönlein. Tempat ini sebetulnya adalah pertemuan tiga jalan sehingga membentuk daerah seperti bentuk garpu, dengan di bagian tengahnya berdiri rumah kayu berwarna coklat yang khas dan indah dilatarbelakangi menara Siebers.  Banyak sekali barang-barang suvenir dari kota ini yang menggambarkan Plönlein.  

Sebagian besar bangunan di kota tua ini telah berubah fungsinya dari fungsi semula sewaktu berdiri di abad pertengahan lalu. Bangunan di kota ini sekarang banyak yang  menjadi hotel, restaurant atau toko-toko. Hotel atau Bed and Breakfast tempat kami menginap, Gasthof Goldener Greifen, adalah gedung tua yang berumur sekitar 600 tahun. Interior restaurannya dipenuhi lukisan tua bergambar pemilik awal gedung ini serta Walikota Rothenburg masa lalu. Restauran ini termasuk restauran yang populer di kota Rothenburg,  mungkin karena selain makanannya yang lezat orang senang menikmati suasana antik restauran ini. 

Kamar yang kami tempati di Gasthof Goldener Greifen adalah family room yang cukup lapang. Ada dua double bed dan satu sofa bed di dalamnya sehingga bisa untuk tidur berlima.  Pintu kamar tampak lebih rendah dari ukuran manusia normal dan terbuat dari kayu tua yang sangat tebal. Sebagai rumah kayu, seluruh lantai maupun langit-langit terbuat dari kayu.  Secara keseluruhan, walau pun hotel antik ini sedikit gelap, tapi kamarnya lapang, bersih dan hangat, serta nyaman untuk ditinggali karena seperti menginap di rumah keluarga.
Apa saja yang dapat dilakukan di Rothenburg? Banyak sekali. Kami tiba di kota ini menjelang jam 6 sore, maka setelah makan malam barulah kami mulai acara berjalan-jalan di kota. Ternyata turis pada jam itu masih banyak berada di sekitar lapangan besar di depan Rathaus atau balai kota, dan toko-toko pun masih banyak yang buka. Banyak turis dari negara asia seperti Jepang dan China terlihat di kota ini, diantara sejumlah besar turis-turis lainnya dari mancanegara.
Tur kota bersama ‘George the watchman’
Kami mengikuti tur keliling kota pada jam 8 malam, dengan suasana yang masih terang benderang karena musim panas. Tour guide kami adalah George, the watchman. Menurut ceritanya, dia adalah turunan dari penjaga kota di abad pertengahan yang menjaga kota Rothenburg di waktu malam. Konon, waktu dulu di Rothenburg setiap malam ada penjaga yang bertugas di setiap pintu gerbang kota. Selama 1 jam kami berjalan mengelilingi gedung-gedung dan dinding kota, dan sebentar-sebentar kami berhenti untuk mendengarkan dongengnya tentang sejarah Rothenburg dengan gaya yang lucu dan menarik. 
Sewaktu melewati salah satu pintu gerbang kota yang tebal dan tinggi, dia bercerita bahwa lubang kecil di tengah pintu itu ada maksudnya. Konon, jaman dulu bila ada orang yang terlambat pulang ke rumah setelah hari sudah gelap mereka harus berteriak ke penjaga di balik pintu gerbang yang sudah tertutup. Penjaga pintu gerbang akan bertanya macam-macam agak detil untuk meyakinkan bahwa yang akan masuk memang penduduk Rothenburg. Ternyata seperti jaman sekarang saja, waktu itu pun penjaga harus di beri uang agar mau membuka pintunya. Setelah uang diterima, melalui lubang kecil di tengah pintu yang hanya pas selingkaran badan manusia masuklah orang itu.  Karena kecil, maka harus kepalanya dulu yang masuk ke lubang itu. Dengan demikian penjaga pintu dibalik sana masih bisa melihat apakah benar orang itu penduduk atau musuh.  Malangnya kalau penjaga tidak kenal muka yang muncul di lubang, dengan mudahnya dia bisa menebas kepala itu. Jadi resiko tetap tinggi walau telah diberi uang.    
Yang unik juga adalah cara si George menarik pengunjung untuk mengikuti tur ini.  Dia yang mengenakan jubah hitam dengan tutup kepala dan memegang lentera, bercerita dengan lantang tentang kota Rothenburg di tengah lapangan batu depan Rathaus, dimana banyak turis berkerumun. Lama-lama orang tertarik untuk mendengarkan ceritanya.  Setelah cukup banyak orang yang mengitarinya, dia mengajak orang-orang yang ingin tahu lebih banyak untuk mengikutinya berkeliling sehingga dia dapat menceritakan tempat-tempat yang menarik. Dia hanya bilang, kalau mau ikut silahkan nanti setelah selesai membayar 6 euro per orang, dan anak-anak gratis. Mungkin karena penasaran dengan ceritanya, banyak juga orang yang mengikutinya berkeliling, ada sekitar 40 orang pada waktu itu.
Salah satu tempat menarik yang kami kunjungi di Rothenburg adalah Museum kriminal Medieval yang menempati gedung antik yang dibangun pada tahun 1396. Dahulu gedung tua ini adalah tempat seminari dari St John of Jerusalem. Sebagai museum kriminal terbesar di Jerman, disana kita bisa melihat perkembangan hukum dan sistem pengadilan di negara-negara berbahasa Jerman pada 1000 tahun terakhir. Selain dokumen tentang sistem pengadilan dan hukum, di sini juga dipertunjukkan berbagai alat untuk menyiksa, termasuk buku-buku dan gambar karikatur tentang berbagai kasus hukum yang pernah terjadi.
Iron maiden sebagai alat untuk menghukum wanita dapat juga dijumpai disini. Kerangkeng dari besi seukuran manusia ini bagian dalamnya dipenuhi paku tajam dan bagian luarnya dilapisi kayu. Tujuannya adalah agar si terhukum kesakitan, tapi tidak langsung meninggal karena paku tajam tidak langsung menusuk terlalu dalam. Merinding bulu kuduk melihat alat siksa ini, karena membayangkan terdakwa wanita yang menjalani hukuman di dalamnya. 
Apa yang khas dari Rothenburg sebagai kenang-kenangan? Ternyata itu adalah boneka teddy bear khas Rothenburg serta makanan seperti kue bola bersalut gula halus yang disebut schneeballen. Rasa kue ini tidak istimewa menurut kami, tapi orang berduyun duyun mendatangi toko yang khusus menjual kue ini. Teddy bear khas Rothenburg dijual di toko yang lengkap berisi aneka boneka beruang berbagai ukuran. Di depan toko tersebut berdiri boneka beruang setinggi manusia dewasa di dekat pintu masuknya. Toko-toko sepanjang jalan batu ini tampak asri, dan masing-masing punya keunikan untuk menarik pengunjung mampir ke dalam. 

Semakin malam, suasana di dekat Rathaus tidak berkurang ramainya. Restauran atau cafe di sekitar lapangan menempatkan kursi dan meja sampai ke jalan-jalan. Duduk di cafe untuk minum kopi dan makan sepotong apple tart sambil menikmati susana kota yang mulai gelap sungguh menyenangkan. Sayang sekali keesokan harinya kami harus sudah meninggalkan kota cantik yang romantik ini. 

Friday, July 12, 2013

Jalan-jalan ke daerah wisata Gunung Bromo


Bulan Juni adalah waktu yang tepat untuk berjalan-jalan ke puncak gunung Bromo. Setelah berkontak berkali-kali dengan penyelenggara trip ke daerah Bromo, akhirnya dipastikan kami berdua akan dijemput tengah malam (sekitar jam 24.30) di hotel tempat kami menginap di kota Malang. Sayang sekali kami menikmati hotel hanya beberapa jam saja, semenjak check in jam 15.30. Padahal guest house "Merbabu" yang kami tempati cukup menarik. Kelihatan bersih, hommy, dengan dekorasi interior yang simple dan chic.
Kendaraan yang menjemput dari Malang sejenis Isuzu Elf dengan tiga baris di belakang, tapi hanya diisi oleh enam penumpang saja. Karena tengah malam, tidak banyak yang bisa diceritakan selama perjalanan ke desa teratas sebelum puncak Bromo, yaitu Wonokirti. Sesampai di desa tersebut kami berenam (peserta open trip Bromo) dipindahkan ke hard top toyota jaman dulu. Dua bangku di belakang berhadap-hadapan diisi oleh dua pasang,sedangkan kami berdua menempati kursi di sebelah supir yang seharusnya untuk satu orang. Terbayang kan bagaimana sempitnya di duduk di depan berdua. Tidak lama menunggu, kami sudah berangkat ke arah Penanjakan, lokasi yang strategis untuk melihat sunrise di puncak gunung Bromo.
Walau masih gelap, suasana sudah ramai dipenuhi puluhan mobil jeep "hardtop" yang sama-sama menuju keatas. Mobil kami tidak bisa parkir sampai keatas, sehingga kami diturunkan agak jauh dari lokasi Pananjakan. Karena badan masih lemas, kurang tidur,  kami tidak menolak tawaran pengendara ojek yang membawa sampai ke atas ke dekat tangga. Suasana malam menjelang subuh itu luar biasa hiruk pikuk oleh kedatangan ratusan pengunjung yang memiliki tujuan sama, yaitu melihat sunrise di gunung Bromo.Setelah menaiki beberapa puluh anak tangga sampailah kami ke pelataran diatas yang cukup lebar dan disediakan bangku-bangku kayu cukup banyak. Tapi karena pengunjung melebihi kapasitas, untuk berdiri pun harus berdesak-desakan.

Sayang cuaca saat itu tidak mendukung untuk melihat sunrise yang cantik. Awan terlalu banyak menutupi gunung, sehingga sewaktu matahari muncul hanya semburat merah oranye sedikit yang terlihat. Pemandangan menjadi fantastis ketika matahari  naik cukup tinggi, karena baru kami menyadari bahwa posisi "Penanjakan" ini jauh lebih tinggi dari puncak gunung bromo. Jadi dari posisi ini kami lihat ke bawah ke arah puncak gunung Bromo yang mengepulkan asapnya, puncak gunung Batok dan di latar belakangi Puncak gunung Semeru yang tinggi.
Pemandangan lain yang menarik adalah setelah kami kembali menaiki "hardtop" dan turun menuju daerah pasir berbisik untuk mencapai kawah gunung bromo serta, padang rumput  savana dibaliknya. Jalan curam yang dilalui memang akan berat bila menggunakan mobil selain hardtop. Menurut pak supir, selama musim liburan seperti bulan Juni ini, bisa mencapai 500 mobil hardtop beroperasi mengantar pengunjung Bromo. Sewaktu kami tiba di padang rumput yang mirip di film anak-anak teletubies, sudah berjejer mobil hardtop yang mengantar pengunjung ke lokasi ini. Selain berfoto dan berjalan mendaki bukit cantik berwarna kuning , pengunjung dapat menikmati jajanan ringan dan minuman panas yang dijual oleh satu-satunya pedagang disini. Setelah dari semalam berkendaraan dan selama di Penanjakan tidak sempat menikmati minuman apapun, enak sekali minum teh panas dan pisang goreng pagi-pagi dengan udara yang cukup dingin.
Setelah menikmati savana kami dilarikan lagi dengan hardtop menuju daerah pasir berbisik, yang ternyata lokasi yang kami lewati sewaktu akan menuju savana. Daerah dekat kaki gunung Bromo ini memang eksotik dengan pasir hitam abu-abu dan meliputi area yang cukup luas. Karena semalam turun hujan cukup lama, maka pasirnya tidak berterbangan sewaktu mobil melewati daerah ini. Konon, kalau kemarau kering, pasir bisa sampai masuk ke hidung karena terbawa angin.
Perjalanan terakhir adalah menaiki punggung gunung Bromo menuju kawahnya yang mengeluarkan asap. Mobil diparkir jauh dari lokasi tangga menuju kawah, sehingga kuda menjadi andalan untuk pergi kesana. Sebetulnya hanya 1,5 km jarak dari parkiran mobil ke anak tangga pertama. Jadi kami berdua berjalan kaki diatas timbunan pasir halus menuju tangga.
Luar biasa pengalaman berjalan menanjak di atas pasir ini, lelah dan membuat nafas tersengal-sengal. Tapi setelah menapaki sekitar 250 anak tangga
ke atas, semua lelah terbalaskan dengan melihat pemandangan yang cantik diatas. Candi Hindu Poten di  kaki gunung terlihat kecil dan puncak gunung Batok serasa begitu dekat.

Perjalanan menuruni anak tangga tidak menjadi lebih ringan, setelah di ujung  anak tangga terakhir sudah menunggu kuda untuk dinaiki. Tak bisa menolak tawaran mereka, karena lemas lututnya, akhirnya kami berkuda ke tempat parkir mobil.  Jadi kalau dihitung-hitung berjalan kaki yang menyita energi ya hanya sewaktu naik ke kawah gunung Bromo saja, karena untuk lokasi wisata lainnya kami dihantarkan oleh mobil atau motor.
Perjalanan ke kawasan gunung Bromo ditutup dengan kembali ke desa Wonokirti dan menikmati makan siang di salah satu homestay rekanan group travel kami. Makanan apapun mungkin akan enak saja, karena perut lapar dan udara dingin, tapi kebetulan menu sambal dan lalapan rebus sawi hijau dengan ikan dan tempe goreng memang cocok. Dengan mengendarai mobil yang lebih kecil, kami berenam kembali ke kota Malang dan diantar kembali ke lokasi masing-masing. Sekitar jam 1 siang kami sudah memasuki kota Malang.

Catatan penting:
- Kalau ingin ke Bromo tapi group kecil (berdua misalnya), ikut saja open trip yang ditawarkan. Reservasi diperlukan dan tinggal menunggu dijemput di lokasi kita berada
- Cuaca di sekitar Bromo seperti di Lembang Bandung. Jaket tipis dengan pakaian dalam yang hangat sudah cukup. Hampir tak diperlukan sarung tangan, tapi kalau memang merasa dingin tinggal beli saja di pedangan asong di desa Wonokirti.
- Karena tempat wisata yang dikunjungi bagus sekali untuk berfoto, siapkan baju dengan warna yang cukup menarik. Hindarkan warna gelap seperti hitam atau abu-abu.
- Tak perlu berat-berat membawa botol minum, karena di lokasi mudah ditemukan penjual minuman botol. Membawa makanan ringan sewaktu lihat sunrise mungkin perlu, karena menunggu cukup lama diatas sana. 



Monday, April 22, 2013

Jalan-Jalan ke Hindeloopen dan Sloten



Jalan-jalan di bulan Mei kali ini adalah menuju Hindeloopen dan Sloten, kota atau kampung  yang historik di utara Belanda.
Hindeloopen
Perjalanan dari arah Amsterdam ke utara menggunakan jalan A47 melewati kota kecil Purmerend sampai ke ujung dari jalan lintas laut (causeway) yang terkenal, Afsluitdijk. Jalan sepanjang 32 kilometer ini dimulai dari Den Oever di provinsi Holland Utara ke desa Zurich di Provinsi Friesland.  Dam dengan lebar 90 meter ini berada di ketinggian 7,5 meter di atas permukaan laut. Pembangunan jalan lintas laut ini untuk menghindarkan amukan badai laut utara ke daerah teluk di Barat Laut Amsterdam.

Semenjak Afsluitdijk dibangun (1927-1933),  Hindeloopen yang asalnya berada di tepi laut menjadi tidak berinteraksi langsung lagi dengan Laut utara. Afsluitdijk ini membentuk danau air tawar yang menampung air dari sungai Ijssel sehingga dinamai IJsselmeer. Danau ini sekarang menjadi danau air tawar terluas di Eropa Barat.  
 
Setelah melewati Afsluitdijk di ujung utara, kami tetap berada di jalan A7 sampai akhirnya berpotongan dengan jalan N359 ke arah selatan yang membawa kami ke Hindeloopen.  Sebelum dibangun Afsluitdijk, Hindeloopen memiliki hubungan kuat dengan negara-negara asing tapi sedikit kontak dengan daerah pedalaman, karena lokasinya yang agak terisolasi. Mungkin karena hal ini maka terbentuk bahasa Hindeloopen yang merupakan campuran bahasa  Fresian, Inggris, Denmark dan Norwegia. Tanda-tanda jalan masih menunjukkan nama yang berasal dari bahasa belanda dan Fresian. Perdagangan dan perkapalan telah membawa penduduk Hindeloopen ke masa keemasan pada abad ke -17 dan ke -18. 

Kota tua ini terkenal karena seni dan kostum Hindeloopen.  Hindeloopen adalah salah satu dari sebelas kota di provinsi Friesland, provinsi paling utara Belanda. Didirikan pada tahun 1225, sebagai kota kecil yang memulai sejarahnya sebagai kampung perkapalan. Karena banjir besar di tahun 1717 yang menyapu sebagian besar daerah itu, dibangun tanggul pinggir laut (dike) pada tahun 1933.  Tanggul tinggi dan lebar ini kini hijau tertutup rumput  sehingga bisa menjadi tempat untuk duduk-duduk sambil menikmati pemandangan danau luas seperti laut ini.
Di pusat kota yang tua, Anda bisa merasakan karakter Hindeloopen yang unik dengan mengembara melalui jalan-jalan sempit dengan pemandangan indah, jembatan kayu yang khas, dan fasad bangunan yang unik. Di musim semi, turis sudah mulai banyak mendatangi Hindeloopen. 
Tempat-tempat menarik sekitar Hindeloopen adalah Lock dengan East Tower, Old Harbour, Zijlroede, West Tower and Church, dan Museum Hindeloopen. Waktu seperti diputar kembali ke masa lalu melihat pusat Hindeloopen tua yang masih terpelihara. Di museum Hindeloopen, kita bisa melihat sejarah maritim yang kaya dan adat istiadat penduduk Hindeloopen, yang semuanya terwujud dalam seni Hindeloopen, seperti furniture cantik dengan lukisan cat dan kostum antik yang indah.
 
Seperti halnya kota-kota lain di Belanda, Hindeloopen memiliki banyak kanal yang dilintasi jembatan kayu cantik.  Toko dan rumah-rumah sekitar tengah kotanya seperti lukisan, dan memang sering diabadikan dalam lukisan Hindeloopen yang unik.  Kanal terbesar yang melintas Hindeloopen dikenal sebagai Sylroede,tampak cantik dijadikan background foto para turis yang berkunjung kesana. 

Daerah sekitar Hindeloopen ini terasa tenang dan damai, sehingga menjadi tempat berlibur yang menyenangkan baik di musim panas maupun di musim semi.   
Pantainya di musim panas dapat digunakan untuk berenang, surfing ataupun memancing, tentu saja berjalan-jalan sepanjang pantainya dengan pemandangan yang menarik menjadi pilihan juga. Pelabuhan tuanya dipenuhi perahu-perahu layar pesiar dan di pinggirnya restaurant dan bar kecil bisa menjadi tempat untuk menikmati makanan atau minuman sambil melihat kapal yang datang dan pergi ke danau Ijsselmeer.
Sloten
Setelah makan pancake ala Hindeloopen yang yummy sebagai cemilan sore hari, perjalanan diteruskan ke kota kecil lainnya, Sloten. Jarak 24,5 km ditempuh melalui jalan kecil sebelum masuk ke highway N359 arah Sudersewei.  Setelah keluar di bunderan menuju Vinkebuorren, tak lama kemudian kami memasuki wilayah Sloten yang berada dekat sekali dengan Slotermeer atau Danau Sloter.
Sloten adalah salah satu kota terkecil di Belanda yang didirikan pada tahun   1426 dan masuk dalam provinsi Friesland. Sama halnya dengan Hindeloopen, Sloten ini dikenal sebagai kota tua di Belanda yang masih banyak memiliki bangunan tua yang terpelihara di sepanjang kanal terbesarnya, Heerenwal. Sloten ini dahulunya hanya kampung kecil yang dikelilingi kanal dan berada dipersimpangan empat kanal. Sekarang Sloten menjadi salah satu tujuan berlibur untuk olahraga air seperti berlayar, bersilancar pada musim panas dan untuk skating di danaunya pada musim dingin.
Di salah satu ujung kanal, terdapat tempat berkumpul dan beristirahat para pelayar setelah seharian berlayar di Slotermeer. Lokasinya seperti tempat camping, ada tali jemuran untuk baju dan tempat barbekyu. Mereka tak memerlukan hotel, karena bisa tidur dengan sleeping bag di perahunya. Pemerintah kota Sloten menyediakan tempat berkumpul itu lengkap dengan fasilitas cuci mandinya.
Begitu memasuki wilayah Sloten, semua mobil diarahkan ke tempat parkir mobil luas  yang berbatasan dengan kanal bagian luar. Menyusuri jalan kecil diantara bangunan dan dinding bata, sampailah ke pusat kota Sloten. Pusat kota Sloten berada di sepanjang kanal utamanya, Heerenwal, yang dijejeri pepohonan rapih dan jalan paving batu di depan bangunan tua dari batu dan bata.  

Di sepanjang kanal ini terdapat gereja tua, bangunan balaikota (Stedhus dalam bahasa Frisian) yang antik dengan museum kecilnya, lalu kincir angin kuno yang diberi nama De Kaai, serta benteng tua dengan papan kayu untuk mempertontonkan penjahat di depannya. Rumah-rumah di sepanjang kanal itu juga antik dan cantik untuk diabadikan dalam foto.
  


Pengunjung bisa duduk di café di pinggir kanal karena jalan hanya untuk pejalan kaki dan sepeda saja. Disamping gereja tua di pinggiran kanal terdapat pemakaman kecil dengan pintu gerbang besi yang unik dan sedikit menyeramkan. Mungkin maksudnya agar semua yang melewati tempat itu mendapat “reminder” akan alam lain yang akan kita masuki.
           

Sewaktu menuju arah pulang ke Delft dari Sloten, rute perjalanan melalui Windmolenpark Ijsselmeer yang berada sepanjang highway A6 dekat kota Lelystad di Flevoland. Terdapat 134 kincir angin modern yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Lokasi ini adalah tempat kincir angin terbesar di Belanda.
 

Setelah melewati kota Lelystad dan Almere menggunakan highway A6 ke arah Amsterdam, kami kemudian berpindah menggunakan jalan A4 di jalan lingkar luar Amsterdam untuk menuju kota Delft.  Usailah sudah perjalanan hari ini sepanjang kira-kira 384 km.