Tuesday, August 6, 2013

Rothenburg ob der Tauber, kota Medieval di Bavaria



Pada perjalanan melalui rute Romantic road  liburan musim panas tahun lalu, kami mengunjungi kota tua cantik Rothenburg ob der Tauber di Bavaria, Jerman.  Jalan melalui rute Romantic road ini tidak sama dengan highway Autobahn yang juga menghubungkan kota Wurzburg, kota kecil dimana terdapat Istana Marienburg, atau Marienburg Fortress, dengan Rothenbugh.  Rute Romantic road membawa kami melewati kampung-kampung cantik dan melintasi daerah pertanian.Pemandangannya sangat indah, jalan mobil kadang-kadang sejajar dengan aliran sungai kecil yang bersih jernih serta hamparan ladang berwarna kuning dan hijau. 
 Kota Rothenburg ob der Tauber di provinsi Bavaria termasuk salah satu kota yang paling banyak dikunjungi turis di Eropa, karena lebih dari dua juta turis mengunjungi kota ini setiap tahun.  Berjalan-jalan di kota kecil Rothenburg ob der Tauber ini seperti melakukan perjalanan melintas waktu ke abad pertengahan (Middle Ages atau Medieval).  Abad pertengahan adalah periode sejarah Eropa yang kira-kira bermula dari abad ke-5 sampai ke abad ke-16.  
 


Seluruh bagian kota di sisi dalam dinding yang melingkari kota ini dilestarikan dan menjadi cagar budaya bangsa Jerman. Pengunjung dapat menaiki dinding tua tersebut dan berjalan sepanjang dinding untuk melihat pemandangan ke seluruh kota dan lembah Tauber di luar dinding kota. Dinding kota yang cukup tinggi, dibangun sekitar abad ke-13 sampai ke-16, menghubungkan lima pintu gerbang yang dilengkapi dengan menara jaganya. 
Rothenburg yang antik dan terlestarikan
Bangunan-bangunan yang tua, rangkaian jalan berbatu, menara yang menjulang tinggi  di dinding sekeliling kota, serta rumah-rumah penduduknya yang bergaya gotik, renaisans dan barok, menjadi daya tarik utama kota ini. Apa yang dilihat di Rothenburg sekarang adalah sama seperti aslinya pada abad pertengahan lalu. Tidak salah kalau Rothenburg dijuluki sebagai kota era Medieval terbaik di Jerman. Pelestarian kota Rothenburg dimulai dengan dikeluarkannya peraturan pelestarian kota medieval ini oleh pemerintah Jerman pada tahun 1800-an 
Rothenburg pernah menjadi salah satu kota penting era kekaisaran Jerman yang dikenal sebagai Holy Roman Empire pada abad pertengahan. Konon sekitar bulan oktober tahun 1631, sebanyak 40 ribu tentara dibawah Jenderal Holy Roman Empire yang beragama Katolik menyerbu Rothenburg yang penduduknya beragama Protestan Lutheran. Penduduk kota yang berjumlah sekitar 5500 orang bersatu padu bertahan di balik dinding kota walau akhirnya kalah dari serbuan tentara Katolik ini.
Setelah dikuras habis dan ditinggalkan tentara Holy Roman Empire, penduduk kota terkena epidemik penyakit black death (plague atau penyakit pes) sehingga kota menjadi kosong. Secara alamiah, kondisi kota Rothenburg terlestarikan seperti apa adanya kondisi kota di awal abad 17, karena tidak ada perkembangan dan ditinggalkan penduduknya.
Rothenburg mulai dikenal lagi pada awal tahun 1800-an ketika banyak pelukis dan penyair Jerman yang berkunjung ke kota ini merasa terkesan serta terinspirasi dengan suasana kota tua yang unik ini.  Kota Rothenburg kemudian dilestarikan sebagai cagar budaya kota abad pertengahan Jerman. Semenjak kedatangan para seniman ini pariwisata mulai berkembang pesat di kota Rothenburg dan berlanjut sampai sekarang.  


Pada masa Perang Dunia II, beruntung sekali tidak banyak kerusakan menimpa kota ini. Asisten Komandan perang Amerika Serikat di Eropa pada masa itu, John J.McCloy, pernah mendengar tentang indahnya kota Rothenburg ini dari ibunya yang pernah berkunjung sebagai turis. Untuk mencegah kota Rothenburg dari kehancuran,  beliau memerintahkan Jenderal Jacob L.Dever, Pemimpin tentara Amerika ke daerah Jerman,  untuk tidak membumi hanguskan Rothenburg. Untungnya juga, konon, Komandan tentara Nazi yang bertahan di Rothenburg mengabaikan perintah Adolf Hitler untuk bertahan sampai tetes darah terakhir. Komandan Nazi ini tanpa berlama-lama segera menyerahkan kota Rothenburg kepada tentara Amerika pada tanggal 17 April 1945,  sehingga tidak ada  kerusakan hebat terjadi di Rothenburg.
Untuk membangun kembali kota ini setelah Perang Dunia kedua, penduduk kota memiliki gagasan yang tidak biasa pada masa itu. Mereka menggalang dana dari donatur di seluruh dunia dan setiap donatur diabadikan namanya pada sepotong tembok di dinding kuno yang mengelilingi kota. Dengan cara itu banyak orang yang ingin menyumbang, karena namanya akan terpampang di dinding kota yang bersejarah ini. Ternyata waktu kami berjalan-jalan di sepanjang dinding tua ini, ada beberapa nama dari Indonesia yang kami temukan. 

Atraksi menarik di Rothenburg
Pusat dari kota ini adalah lapangan berbatu yang dikelilingi oleh balai kota (Rathaus), menara jam (Clock tower), kolam air mancur St Georges dan berbagai toko serta  restauran. Bangunan balai kota memiliki dua gaya, bagian depan yang bergaya gotik termasuk menaranya yang setinggi 65 meter dibangun pada tahun 1250-1400, dan bagian samping yang bergaya renaisans dibangun sekitar tahun 1572 – 1578.  Pada Clock tower terpasang penunjuk waktu yang unik, karena selain jarum yang menunjukkan jam dan menit ada juga penunjuk bulan dan hari. 
Pada waktu-waktu tertentu, jendela di bagian atas menara ini terbuka dan mempertontonkan boneka-boneka yang bergerak mekanis. Sandiwara boneka tersebut menceritakan legenda minum-minum Walikota Rothenburg, Nusch, yang terjadi pada tahun 1631. Konon pada saat itu Walikota minum sebanyak 1 galon (3¼  liter) anggur dalam tegukan panjang tanpa henti. Aksi walikota ini terpaksa dilakukan demi menyelamatkan kota Rothenburg. Pihak musuh menantang seluruh warga kota yang mampu minum anggur 3¼  liter dalam tegukan panjang. Bila tidak ada yang mampu maka Rothenburg akan mereka kuasai. Karena tidak ada yang berani, maka Walikotanya sendiri yang menerima tantangan itu. Apakah cerita ini benar-benar terjadi, tidak ada yang tahu. Yang pasti sekarang lapangan batu ditengah kota ini selalu dipenuhi turis terutama menjelang pertunjukan boneka dari jendela menara. 


Ke arah pintu gerbang dinding kota bagian selatan terdapat suatu tengara yang terkenal dari kota ini, yaitu Plönlein. Tempat ini sebetulnya adalah pertemuan tiga jalan sehingga membentuk daerah seperti bentuk garpu, dengan di bagian tengahnya berdiri rumah kayu berwarna coklat yang khas dan indah dilatarbelakangi menara Siebers.  Banyak sekali barang-barang suvenir dari kota ini yang menggambarkan Plönlein.  

Sebagian besar bangunan di kota tua ini telah berubah fungsinya dari fungsi semula sewaktu berdiri di abad pertengahan lalu. Bangunan di kota ini sekarang banyak yang  menjadi hotel, restaurant atau toko-toko. Hotel atau Bed and Breakfast tempat kami menginap, Gasthof Goldener Greifen, adalah gedung tua yang berumur sekitar 600 tahun. Interior restaurannya dipenuhi lukisan tua bergambar pemilik awal gedung ini serta Walikota Rothenburg masa lalu. Restauran ini termasuk restauran yang populer di kota Rothenburg,  mungkin karena selain makanannya yang lezat orang senang menikmati suasana antik restauran ini. 

Kamar yang kami tempati di Gasthof Goldener Greifen adalah family room yang cukup lapang. Ada dua double bed dan satu sofa bed di dalamnya sehingga bisa untuk tidur berlima.  Pintu kamar tampak lebih rendah dari ukuran manusia normal dan terbuat dari kayu tua yang sangat tebal. Sebagai rumah kayu, seluruh lantai maupun langit-langit terbuat dari kayu.  Secara keseluruhan, walau pun hotel antik ini sedikit gelap, tapi kamarnya lapang, bersih dan hangat, serta nyaman untuk ditinggali karena seperti menginap di rumah keluarga.
Apa saja yang dapat dilakukan di Rothenburg? Banyak sekali. Kami tiba di kota ini menjelang jam 6 sore, maka setelah makan malam barulah kami mulai acara berjalan-jalan di kota. Ternyata turis pada jam itu masih banyak berada di sekitar lapangan besar di depan Rathaus atau balai kota, dan toko-toko pun masih banyak yang buka. Banyak turis dari negara asia seperti Jepang dan China terlihat di kota ini, diantara sejumlah besar turis-turis lainnya dari mancanegara.
Tur kota bersama ‘George the watchman’
Kami mengikuti tur keliling kota pada jam 8 malam, dengan suasana yang masih terang benderang karena musim panas. Tour guide kami adalah George, the watchman. Menurut ceritanya, dia adalah turunan dari penjaga kota di abad pertengahan yang menjaga kota Rothenburg di waktu malam. Konon, waktu dulu di Rothenburg setiap malam ada penjaga yang bertugas di setiap pintu gerbang kota. Selama 1 jam kami berjalan mengelilingi gedung-gedung dan dinding kota, dan sebentar-sebentar kami berhenti untuk mendengarkan dongengnya tentang sejarah Rothenburg dengan gaya yang lucu dan menarik. 
Sewaktu melewati salah satu pintu gerbang kota yang tebal dan tinggi, dia bercerita bahwa lubang kecil di tengah pintu itu ada maksudnya. Konon, jaman dulu bila ada orang yang terlambat pulang ke rumah setelah hari sudah gelap mereka harus berteriak ke penjaga di balik pintu gerbang yang sudah tertutup. Penjaga pintu gerbang akan bertanya macam-macam agak detil untuk meyakinkan bahwa yang akan masuk memang penduduk Rothenburg. Ternyata seperti jaman sekarang saja, waktu itu pun penjaga harus di beri uang agar mau membuka pintunya. Setelah uang diterima, melalui lubang kecil di tengah pintu yang hanya pas selingkaran badan manusia masuklah orang itu.  Karena kecil, maka harus kepalanya dulu yang masuk ke lubang itu. Dengan demikian penjaga pintu dibalik sana masih bisa melihat apakah benar orang itu penduduk atau musuh.  Malangnya kalau penjaga tidak kenal muka yang muncul di lubang, dengan mudahnya dia bisa menebas kepala itu. Jadi resiko tetap tinggi walau telah diberi uang.    
Yang unik juga adalah cara si George menarik pengunjung untuk mengikuti tur ini.  Dia yang mengenakan jubah hitam dengan tutup kepala dan memegang lentera, bercerita dengan lantang tentang kota Rothenburg di tengah lapangan batu depan Rathaus, dimana banyak turis berkerumun. Lama-lama orang tertarik untuk mendengarkan ceritanya.  Setelah cukup banyak orang yang mengitarinya, dia mengajak orang-orang yang ingin tahu lebih banyak untuk mengikutinya berkeliling sehingga dia dapat menceritakan tempat-tempat yang menarik. Dia hanya bilang, kalau mau ikut silahkan nanti setelah selesai membayar 6 euro per orang, dan anak-anak gratis. Mungkin karena penasaran dengan ceritanya, banyak juga orang yang mengikutinya berkeliling, ada sekitar 40 orang pada waktu itu.
Salah satu tempat menarik yang kami kunjungi di Rothenburg adalah Museum kriminal Medieval yang menempati gedung antik yang dibangun pada tahun 1396. Dahulu gedung tua ini adalah tempat seminari dari St John of Jerusalem. Sebagai museum kriminal terbesar di Jerman, disana kita bisa melihat perkembangan hukum dan sistem pengadilan di negara-negara berbahasa Jerman pada 1000 tahun terakhir. Selain dokumen tentang sistem pengadilan dan hukum, di sini juga dipertunjukkan berbagai alat untuk menyiksa, termasuk buku-buku dan gambar karikatur tentang berbagai kasus hukum yang pernah terjadi.
Iron maiden sebagai alat untuk menghukum wanita dapat juga dijumpai disini. Kerangkeng dari besi seukuran manusia ini bagian dalamnya dipenuhi paku tajam dan bagian luarnya dilapisi kayu. Tujuannya adalah agar si terhukum kesakitan, tapi tidak langsung meninggal karena paku tajam tidak langsung menusuk terlalu dalam. Merinding bulu kuduk melihat alat siksa ini, karena membayangkan terdakwa wanita yang menjalani hukuman di dalamnya. 
Apa yang khas dari Rothenburg sebagai kenang-kenangan? Ternyata itu adalah boneka teddy bear khas Rothenburg serta makanan seperti kue bola bersalut gula halus yang disebut schneeballen. Rasa kue ini tidak istimewa menurut kami, tapi orang berduyun duyun mendatangi toko yang khusus menjual kue ini. Teddy bear khas Rothenburg dijual di toko yang lengkap berisi aneka boneka beruang berbagai ukuran. Di depan toko tersebut berdiri boneka beruang setinggi manusia dewasa di dekat pintu masuknya. Toko-toko sepanjang jalan batu ini tampak asri, dan masing-masing punya keunikan untuk menarik pengunjung mampir ke dalam. 

Semakin malam, suasana di dekat Rathaus tidak berkurang ramainya. Restauran atau cafe di sekitar lapangan menempatkan kursi dan meja sampai ke jalan-jalan. Duduk di cafe untuk minum kopi dan makan sepotong apple tart sambil menikmati susana kota yang mulai gelap sungguh menyenangkan. Sayang sekali keesokan harinya kami harus sudah meninggalkan kota cantik yang romantik ini. 

No comments:

Post a Comment