Wednesday, March 21, 2012

Perjalanan di Normandia (bagian 2) : Caen, dan Deauville

by Elsa Krisanti on Wednesday, March 21, 9.53 PM.

Jalan-jalan di Caen
Beruntung sekali selama perjalanan liburan bulan Juli lalu, cuaca cukup mendukung. Rata-rata langit bersih dan matahari bersinar terang, hanya kadang-kadang saja turun hujan dan mendung. Setelah menikmati Mont St. Michel dan sekitarnya, kami melanjutkan perjalanan ke arah utara yaitu menuju kota Caen. Dari kota Avranches, tempat kami menginap terakhir, lama perjalanan hanya sekitar satu jam saja.
Dari Avranches ke Honfleur
Caen yang dikenal sebagai heart of Normandy adalah kota yang dipenuhi bangunan-bangunan bersejarah yang dibangun pada abad ke sebelas sewaktu dikuasai oleh William the Conqueror. Selama “Battle of Normandy” pada Pada Perang Dunia II di tahun 1944, kota Caen dibebaskan oleh pasukan sekutu, terutama dari Inggris dan Canada, sehingga dikenal sebagai “Battle for Caen” .
Abbaye aux Hommes di tengah Caen
Tempat pertama yang dikunjungi pada pagi yang cerah ini adalah Abbaye aux Hommes atau gereja untuk laki-laki yang dibangun oleh William the conqueror sekitar 800 tahun lalu. Gedung biara yang bersebelahan dengan gereja ini sekarang menjadi town hall atau hotel de ville. Sewaktu pertama berkunjung ke Paris dua tahun lalu, belum mengerti artinya hotel de ville, di duga hotel saja. Ternyata di Perancis hotel d
e ville itu artinya town hall alias gedung kotapraja.
Lokasi dimana Abbaye aux Hommes ini berada di jantung kota, karena selain town hall, juga ada gedung pengadilan (palais de justice), terus ada gereja Saint Etienne le Vieux yang terlihat sudah tua dengan kerusakan akibat perang yang tidak dipugar. Semua gedung-gedung ini mengelilingi semacam bundaran dengan taman yang penuh bunga beraneka warna.


Sewaktu menyusuri jalan ke arah chateau Ducal atau Caen Castle, surprise juga menemukan sebuah beca yang menjadi hiasan di pinggir jalan. Beca seperti ini mungkin berasal dari Jawa tengah atau Jawa timur, berhiaskan tulisan “Dwi  tunggal”.

Beca "Dwi Tunggal" di Caen
Jalanan berbatu yang hanya digunakan pejalan kaki ini melintas deretan bangunan tua yang juga merupakan pertokoan dan restauran.


Terselip dua rumah kayu tua tertua di Caen yang sekarang menjadi museum pos. Hanya bagian muka dari bangunan ini  saja yang terbuat dari kayu, sedang bagian yang lainnya terbuat dari batu kapur atau limestone.
Rumah kayu untuk Museum Pos

 Di persimpangan jalan akhirnya kami sampai di suatu tempat terbuka dengan tengaranya adalah Kastil Caen atau Chateau Ducal. Benteng ini didirikan sekitar tahun 1060 oleh William the Conqueror untuk melindungi istana kediamannya. William the conqueror ini sampai meninggalnya pada tahun 1087 adalah duke of Normandy yang juga menjadi King of England karena invasinya ke Inggris pada tahun 1066.

Kastil Caen, tinggal bentengnya saja



Jembatan kayu untuk memasuki bent
Akibat pemboman selama Perang Dunia II, istana William ini hanya tinggal bagian dasarnya saja. Bangunan yang masih tersisa di dalam benteng dan kemudian diperbaiki adalah ruang pertemuan atau “Exchequer room” dan gereja St. Georges.
Untuk memasuki benteng ini kami harus berjalan menanjak dan kemudian melalui jembatan kayu tua menyebrangi solokan dalam yang kering.


Di dalam benteng ini terdapat museum seni (musee des beaux-arts) yang dipenuhi lukisan-lukisan lama maupun baru yang berskala dunia.  Pengamanan di dalam museum tidak  terlalu ketat, tidak seperti di museum lainnya yang berisi lukisan-lukisan terkenal, hanya sedikit penjaga yang berjaga.  

Di luar benteng, ada bangunan yang menarik yaitu rumah kayu tua berwarna merah serta gereja St. Piere yang tampak tua dan gelap di seberangnya.


Rumah kayu merah di samping benteng
Salah satu bagian yang menyenangkan dari perjalanan liburan adalah acara mengisi perut. Siang itu kami menyantap masakan Itali cepat saji dengan menu  spageti dengan saus tomat-bayam. Sambil menikmati makan siang kami juga menikmati suasana jalan tengah kota Caen yang tidak begitu ramai dilalui pejalan kaki.

Makan siang pasta di pinggir jalan
 Jalan-jalan di Deauville
Setelah menikmati makan siang, kami berangkat lagi menuju tujuan berikutnya yaitu Deauville. Melalu jalan A-13 ke arah utara, setelah kurang lebih 50 menit akhirnya kami sampai di kota kecil ini. Semula Deauville ini hanya kampung kecil biasa yang penduduknya hidup dari pertanian dan perternakan, dengan melepaskan ternaknya di sekitar rerumputan dekat pantai. Perubahan besar terjadi pada kampung ini ketika pada tahun 1858, Duke of Morny yang masih saudara dari Napoleon III terinspirasi untuk membangun resort pinggir pantai di Deauville. Bersama partnernya, Doctor Olliffe mereka membangun casino, hotel dan pacuan kuda di Deaville untuk para elit dari kota Paris dan aristokrat internasional.
Deauville di masa sekarang telah menjadi tujuan turisme untuk segala kalangan masyarakat. Selain casino dan pacuan kuda, wisata pantai dan kultur menjadi andalan kota ini juga.  

Dermaga kapal pesiar di dekat Casino di Deauville
Begitu memasuki kota kecil ini, pemandangan yang menarik perhatian adalah pelabuhan dengan ratusan kapal pesiar tertambat dan gedung casino di latar belakangnya. Terasa benar memasuki kota wisata, dengan lapangan parkir yang penuh dan turis dimana-mana. Kami menyusuri pinggiran dermaga menuju pantai yang dikenal dengan nama Promenade des Planches.


Promenade des Planches
Tempat berjalan kaki pinggir pantai sepanjang 634 meter yang dibangun pada tahun 1923 ini terbuat dari kayu ebba dari Madagaskar yang tahan terhadap air. Pada salah satu sisinya berjejer kabin kecil dengan tulisan nama nama bintang film Amerika yang datang ke Deauville untuk mengikutin Festival Film Amerika. 


 Pantai pasir putih sepanjang promenade ini dipenuhi payung-payung pantai yang didominasi warna biru dan merah.
Payung merah biru di pasir putih luas Deauville

Kabin kecil ini disewakan demikian juga payung-payung yang tersedia. Sehingga pengunjung yang bersantai di pasir dapat menyimpan barang-barangnya di kabin ini, atau kalau merasa terlalu panas bisa duduk-duduk di depan kabin yang terlindung dari sengatan matahari.

The Normandy Barriere Hotel yang menghadap laut di dekat promenade memiliki bangunan khas Normandi. Hotel yang didirikan pada tahun 1912 ini eksteriornya terbuat dari kayu yang berwarna hijau pucat seperti warna porselen Cina. Dengan bunga yang bermekaran di setiap jendela dan tamannya yang cantik, hotel ini terlihat asri.
The Normandy Barriere Hotel dengan exterior kayu yang khas 
The Royal Barriere Hotel dengan hamparan pasir putih
Hotel lain yang juga menghadap promenade adalah The Royal Barriere yang didirikan setelah The Normandy Barriere Hotel. Kedua hotel ini melatar-belakangi pemandangan pantai putih Deuville yang dipenuhi pengunjung. 


Pojokan di Deauville yang menjadi butik
Berjalan melintas pusat kotanya, terasa benar berada di kota turis berkelas tinggi. Di sepanjang jalannya, gedung-gedung antik yang cantik ini menjual produk-produk terkenal. 


Menjelang sore kami terpaksa meninggalkan kota pantai Deauville untuk segera menuju kota pantai lainnya yang tidak kalah cantiknya, Honfleur.