Pada perjalanan melalui
rute Romantic road liburan musim
panas tahun lalu, kami mengunjungi kota tua cantik Rothenburg ob der Tauber di
Bavaria, Jerman. Jalan melalui rute Romantic
road ini tidak sama dengan highway Autobahn yang juga menghubungkan kota Wurzburg,
kota kecil dimana terdapat Istana Marienburg, atau Marienburg Fortress, dengan Rothenbugh. Rute Romantic road membawa kami melewati kampung-kampung
cantik dan melintasi daerah pertanian.Pemandangannya sangat indah, jalan mobil kadang-kadang sejajar dengan aliran sungai kecil yang
bersih jernih serta hamparan ladang berwarna kuning dan hijau.
Kota Rothenburg ob der
Tauber di provinsi Bavaria termasuk salah satu kota yang paling banyak dikunjungi
turis di Eropa, karena lebih dari dua juta turis mengunjungi kota ini setiap
tahun. Berjalan-jalan di kota kecil
Rothenburg ob der Tauber ini seperti melakukan perjalanan melintas waktu ke
abad pertengahan (Middle Ages atau Medieval). Abad pertengahan adalah periode sejarah Eropa
yang kira-kira bermula dari abad ke-5 sampai ke abad ke-16.
Seluruh bagian kota di sisi dalam dinding yang melingkari kota ini dilestarikan dan
menjadi cagar budaya bangsa Jerman. Pengunjung dapat menaiki dinding tua
tersebut dan berjalan sepanjang dinding untuk melihat pemandangan ke seluruh kota dan lembah Tauber di
luar dinding kota. Dinding kota yang cukup tinggi, dibangun sekitar abad ke-13
sampai ke-16, menghubungkan lima pintu gerbang yang dilengkapi dengan menara
jaganya.
Rothenburg yang antik dan
terlestarikan
Bangunan-bangunan
yang tua, rangkaian jalan berbatu, menara yang menjulang tinggi di dinding sekeliling kota,
serta rumah-rumah penduduknya yang bergaya gotik, renaisans dan barok, menjadi
daya tarik utama kota
ini. Apa yang dilihat di Rothenburg sekarang adalah sama seperti aslinya pada
abad pertengahan lalu. Tidak salah kalau Rothenburg dijuluki sebagai kota era Medieval terbaik
di Jerman. Pelestarian kota Rothenburg dimulai
dengan dikeluarkannya peraturan pelestarian kota medieval ini oleh pemerintah Jerman pada
tahun 1800-an
Rothenburg
pernah menjadi salah satu kota penting era kekaisaran
Jerman yang dikenal sebagai Holy Roman
Empire pada abad pertengahan. Konon sekitar bulan oktober tahun 1631, sebanyak
40 ribu tentara dibawah Jenderal Holy
Roman Empire yang beragama Katolik menyerbu Rothenburg yang penduduknya
beragama Protestan Lutheran. Penduduk kota yang
berjumlah sekitar 5500 orang bersatu padu bertahan di balik dinding kota walau akhirnya kalah
dari serbuan tentara Katolik ini.
Setelah
dikuras habis dan ditinggalkan tentara Holy Roman Empire, penduduk kota terkena
epidemik penyakit black death (plague atau penyakit pes) sehingga kota menjadi
kosong. Secara alamiah, kondisi kota Rothenburg terlestarikan seperti apa
adanya kondisi kota di awal abad 17, karena tidak ada perkembangan dan
ditinggalkan penduduknya.
Rothenburg mulai
dikenal lagi pada awal tahun 1800-an ketika banyak pelukis dan penyair Jerman yang
berkunjung ke kota ini merasa terkesan serta terinspirasi
dengan suasana kota
tua yang unik ini. Kota Rothenburg kemudian
dilestarikan sebagai cagar budaya kota abad pertengahan Jerman. Semenjak kedatangan para seniman ini pariwisata mulai
berkembang pesat di kota
Rothenburg dan berlanjut sampai sekarang.
Pada masa Perang Dunia II, beruntung sekali tidak banyak
kerusakan menimpa kota
ini. Asisten Komandan perang Amerika Serikat di Eropa pada masa itu, John
J.McCloy, pernah mendengar tentang indahnya kota Rothenburg ini dari ibunya yang pernah
berkunjung sebagai turis. Untuk
mencegah kota Rothenburg dari kehancuran, beliau memerintahkan Jenderal Jacob L.Dever,
Pemimpin tentara Amerika ke daerah Jerman, untuk tidak membumi hanguskan Rothenburg. Untungnya
juga, konon, Komandan tentara Nazi yang bertahan di Rothenburg mengabaikan
perintah Adolf Hitler untuk bertahan sampai tetes darah terakhir. Komandan Nazi
ini tanpa berlama-lama segera menyerahkan kota Rothenburg kepada tentara
Amerika pada tanggal 17 April 1945, sehingga
tidak ada kerusakan hebat terjadi di
Rothenburg.
Untuk membangun kembali kota ini setelah Perang Dunia
kedua, penduduk kota memiliki gagasan yang tidak biasa pada masa itu. Mereka menggalang
dana dari donatur di seluruh dunia dan setiap donatur diabadikan namanya pada
sepotong tembok di dinding kuno yang mengelilingi kota. Dengan cara itu banyak
orang yang ingin menyumbang, karena namanya akan terpampang di dinding kota
yang bersejarah ini. Ternyata waktu kami berjalan-jalan di sepanjang dinding
tua ini, ada beberapa nama dari Indonesia yang kami temukan.
Atraksi
menarik di Rothenburg
Pusat dari kota
ini adalah lapangan berbatu yang dikelilingi oleh balai kota (Rathaus), menara
jam (Clock tower), kolam air mancur St Georges dan berbagai toko serta restauran. Bangunan balai kota memiliki dua
gaya, bagian depan yang bergaya gotik termasuk menaranya yang setinggi 65 meter
dibangun pada tahun 1250-1400, dan bagian samping yang bergaya renaisans dibangun
sekitar tahun 1572 – 1578. Pada Clock tower terpasang penunjuk waktu
yang unik, karena selain jarum yang menunjukkan jam dan menit ada juga penunjuk
bulan dan hari.
Pada waktu-waktu
tertentu, jendela di bagian atas menara ini terbuka dan mempertontonkan boneka-boneka
yang bergerak mekanis. Sandiwara boneka
tersebut menceritakan legenda minum-minum Walikota Rothenburg, Nusch, yang
terjadi pada tahun 1631. Konon pada saat itu Walikota minum sebanyak 1 galon (3¼ liter) anggur dalam tegukan panjang tanpa
henti. Aksi walikota ini terpaksa dilakukan demi menyelamatkan kota Rothenburg.
Pihak musuh menantang seluruh warga kota yang mampu minum anggur 3¼ liter dalam tegukan panjang. Bila tidak ada
yang mampu maka Rothenburg akan mereka kuasai. Karena tidak ada yang berani,
maka Walikotanya sendiri yang menerima tantangan itu. Apakah cerita ini
benar-benar terjadi, tidak ada yang tahu. Yang pasti sekarang lapangan batu
ditengah kota ini selalu dipenuhi turis terutama menjelang pertunjukan boneka
dari jendela menara.
Ke arah pintu gerbang dinding kota bagian selatan
terdapat suatu tengara yang terkenal dari kota ini, yaitu Plönlein. Tempat ini sebetulnya
adalah pertemuan tiga jalan sehingga membentuk daerah seperti bentuk garpu,
dengan di bagian tengahnya berdiri rumah kayu berwarna coklat yang khas dan
indah dilatarbelakangi menara Siebers. Banyak sekali barang-barang suvenir dari kota ini
yang menggambarkan Plönlein.
Sebagian besar bangunan di kota tua ini telah berubah
fungsinya dari fungsi semula sewaktu berdiri di abad pertengahan lalu. Bangunan
di kota ini sekarang banyak yang menjadi
hotel, restaurant atau toko-toko. Hotel atau Bed and Breakfast tempat kami menginap, Gasthof Goldener Greifen,
adalah gedung tua yang berumur sekitar 600 tahun. Interior restaurannya dipenuhi
lukisan tua bergambar pemilik awal gedung ini serta Walikota Rothenburg masa
lalu. Restauran ini termasuk restauran yang populer di kota Rothenburg, mungkin karena selain makanannya yang lezat
orang senang menikmati suasana antik restauran ini.
Kamar yang
kami tempati di Gasthof Goldener
Greifen adalah family room yang cukup lapang. Ada dua double bed dan
satu sofa bed di dalamnya sehingga bisa untuk tidur berlima. Pintu kamar tampak lebih rendah dari ukuran manusia
normal dan terbuat dari kayu tua yang sangat tebal. Sebagai rumah kayu, seluruh
lantai maupun langit-langit terbuat
dari kayu. Secara keseluruhan, walau pun
hotel antik ini sedikit gelap, tapi kamarnya lapang, bersih dan hangat, serta
nyaman untuk ditinggali karena seperti menginap di rumah keluarga.
Apa saja yang dapat dilakukan di Rothenburg?
Banyak sekali. Kami tiba di kota ini menjelang jam 6 sore, maka setelah makan
malam barulah kami mulai acara berjalan-jalan di kota. Ternyata turis pada jam
itu masih banyak berada di sekitar lapangan besar di depan Rathaus atau balai
kota, dan toko-toko pun masih banyak yang buka. Banyak turis dari negara
asia seperti Jepang dan China
terlihat di kota
ini, diantara sejumlah besar turis-turis lainnya dari mancanegara.
Tur kota bersama ‘George the watchman’
Kami mengikuti tur keliling kota pada jam 8 malam,
dengan suasana yang masih terang benderang karena musim panas. Tour guide kami adalah George, the watchman. Menurut ceritanya, dia
adalah turunan dari penjaga kota di abad
pertengahan yang menjaga kota
Rothenburg di waktu malam. Konon, waktu dulu di Rothenburg setiap malam ada
penjaga yang bertugas di setiap pintu gerbang kota. Selama 1 jam kami berjalan mengelilingi
gedung-gedung dan dinding kota, dan sebentar-sebentar
kami berhenti untuk mendengarkan dongengnya tentang sejarah Rothenburg dengan gaya yang lucu dan
menarik.
Sewaktu
melewati salah satu pintu gerbang kota
yang tebal dan tinggi, dia bercerita bahwa lubang kecil di tengah pintu itu ada
maksudnya. Konon, jaman dulu bila ada orang yang terlambat pulang ke rumah setelah
hari sudah gelap mereka harus berteriak ke penjaga di balik pintu gerbang yang
sudah tertutup. Penjaga pintu gerbang akan bertanya macam-macam agak detil
untuk meyakinkan bahwa yang akan masuk memang penduduk Rothenburg. Ternyata
seperti jaman sekarang saja, waktu itu pun penjaga harus di beri uang agar mau
membuka pintunya. Setelah uang diterima,
melalui lubang kecil di tengah pintu yang hanya pas selingkaran badan manusia
masuklah orang itu. Karena kecil, maka
harus kepalanya dulu yang masuk ke lubang itu. Dengan demikian penjaga pintu
dibalik sana masih bisa melihat apakah benar orang itu penduduk atau
musuh. Malangnya kalau penjaga tidak
kenal muka yang muncul di lubang, dengan mudahnya dia bisa menebas kepala itu. Jadi
resiko tetap tinggi walau telah diberi uang.
Yang unik juga adalah cara si George menarik
pengunjung untuk mengikuti tur ini. Dia
yang mengenakan jubah hitam dengan tutup kepala dan memegang lentera, bercerita
dengan lantang tentang kota
Rothenburg di tengah lapangan batu depan Rathaus, dimana banyak turis berkerumun.
Lama-lama orang tertarik untuk mendengarkan ceritanya. Setelah cukup banyak orang yang mengitarinya,
dia mengajak orang-orang yang ingin tahu lebih banyak untuk mengikutinya
berkeliling sehingga dia dapat menceritakan tempat-tempat yang menarik. Dia
hanya bilang, kalau mau ikut silahkan nanti setelah selesai membayar 6 euro per
orang, dan anak-anak gratis. Mungkin karena penasaran dengan ceritanya, banyak
juga orang yang mengikutinya berkeliling, ada sekitar 40 orang pada waktu itu.
Salah satu
tempat menarik yang kami kunjungi di Rothenburg
adalah Museum
kriminal Medieval yang menempati gedung antik yang dibangun pada tahun 1396.
Dahulu gedung tua ini adalah tempat seminari dari St John of Jerusalem. Sebagai
museum kriminal terbesar di Jerman, disana kita bisa melihat perkembangan hukum
dan sistem pengadilan di negara-negara berbahasa Jerman pada 1000 tahun
terakhir. Selain dokumen tentang sistem pengadilan dan hukum, di sini juga
dipertunjukkan berbagai alat untuk menyiksa, termasuk buku-buku dan gambar
karikatur tentang berbagai kasus hukum yang pernah terjadi.
Iron maiden sebagai alat untuk menghukum
wanita dapat juga dijumpai disini. Kerangkeng dari besi seukuran manusia ini
bagian dalamnya dipenuhi paku tajam dan bagian luarnya dilapisi kayu. Tujuannya
adalah agar si terhukum kesakitan, tapi tidak langsung meninggal karena paku
tajam tidak langsung menusuk terlalu dalam. Merinding bulu kuduk melihat alat
siksa ini, karena membayangkan terdakwa wanita yang menjalani hukuman di
dalamnya.
Apa yang khas
dari Rothenburg sebagai kenang-kenangan? Ternyata itu adalah boneka teddy bear
khas Rothenburg serta makanan seperti kue bola bersalut gula halus yang disebut
schneeballen. Rasa kue ini tidak istimewa menurut kami, tapi orang berduyun
duyun mendatangi toko yang khusus menjual kue ini. Teddy bear khas Rothenburg
dijual di toko yang lengkap berisi aneka boneka beruang berbagai ukuran. Di
depan toko tersebut berdiri boneka beruang setinggi manusia dewasa di dekat pintu
masuknya. Toko-toko sepanjang jalan batu ini tampak asri, dan masing-masing
punya keunikan untuk menarik pengunjung mampir ke dalam.
Semakin malam,
suasana di dekat Rathaus tidak berkurang ramainya. Restauran atau cafe di sekitar lapangan
menempatkan kursi dan meja sampai ke jalan-jalan. Duduk di cafe untuk minum
kopi dan makan sepotong apple tart sambil menikmati susana kota yang mulai
gelap sungguh menyenangkan. Sayang sekali keesokan harinya kami harus sudah
meninggalkan kota cantik yang romantik ini.